Unyil dan Gembul :
“Menengkari Konfercab PMII Nunukan”
Oleh : Suriadi
[Bagian I]
Cerita Tiga Kader
Unyil baru saja pulang dari gunung petapaan. Rutinitas yang bertahun ia lakukan; naik, mendaki, menggotong tas salempang dari karung goni, bekas wadah bawang yang ia pungut di pasar rakyat.
Sebagian orang menganggap gunung itu laiknya perempuan muda dan cantik yang memang disediakan Tuhan untuk menemani unyil. Padahal yang terjadi, unyil ke gunung agar terhindar dari bising dan gemuruh khotbah nabi-nabi pergerakan.
Di gunung, ia berkesempatan mengunyah lembaran buku agar menubuh. Fantasi terhadapnya menampilkan sepotong demi sepotong rahasianya; sunyi jadi bermakna dan pencarian akan hakikat hidup menyebabkan seolah rutinitas itu menjadi perburuan spiritual yang indah.
“Daripada berkhotbah di dasar, lebih baik berkhotbah di atas bukit”, ucapnya.
Aku bukan mereka, yang suka berkhotbah di depan para pengagum dan makhluk yang setia mengikutinya. Menjadikan mereka serdadu patuh dan taat sehingga kehilangan keberanian mengambil langkah dan arah. Pola itu tidak membentuk teman belajar melainkan semirip memproduksi budak di tengah kesalehan global yang bersemangat. Gumam unyil sembari menyimpan secarik kertas.
“Unyil, unyil” kejar gembul
Lihat ini, gembul menyodorkan handphone nya.
“Coming Soon Konfercab PC PMII Nunukan” sekilas tulisan yang berselancar di sosial media.
Sebagai kader PMII Nunukan. Membacanya, unyil membayangkan akan terjadi sebuah kisah yang bijaksana, penuh kasih dan mencerahkan untuk era kita saat ini. Itu bayangan unyil.
“Cuihhhhhh” Umar meludah, yang tiba-tiba muncul di tengah mereka.
“Forum kesakralan salah kaprah itu. Bak di atas lautan luas, kesakralan itu mengapung layaknya perahu kecil kehidupan yang bertahan, yang di dalamnya sebagian besar adalah orang-orang yang kehilangan mandat keilmuan, tidak memuja naskah-naskah suci pengetahuan, termuat orang-orang yang kehilangan abdi kemanusiaan, berbicara bangsa dan negara serta ego kelompok semacam gerakan mata-mata; di belakangnya tersembunyi kepentingan diriku”.
Terkenal berpikir kasar dan berucap pedas, siapa lagi kalau bukan umar. Tak tanggung-tanggung, menanggapi ceracau empirik yang keluar dari mulutnya, panas baram kepala kita. Sebagian mempasrahkan pula hatinya ikut panas – menyimpan dendam – padahal taklah perlu bersikap sejauh itu. Itu baru separuh, sekiranya hanya 2% yang keluar. Sisanya ia maki dalam pikiran. Bayangkan kalau semua dikeluarkan, perang bisa saja terjadi.
Umar ini kader yang asing. Lahir bukan dari ekslusif kelembagaan, namun dari laboratorium mutahhar, artinya tercerahkan. Menurutnya, ekslusif kelembagaan atau lembaga yang alergi terhadap perubahan dan pengetahuan akan selalu menemukan sejumlah kegagalan mendasar. Pengurus mendirikan pondasi-pondasi kegiatan, panitia melaksanakan beragam pelatihan namun hasilnya hanya mencetak kader-kader fakultatif bukan kader universal. Membentuk kader-kader anti pikiran, stereotip, berkelompok. Alhasil, kita sendiri yang mencipta manusia-manusia primordial. Umar sosok kader yang selalu berdebat dalam rute ini. Baginya, kader telah kehilangan tradisi untuk berani berpikir sendiri.
Sepadan dengan perkataan unyil, pendampingan dari senior bukan untuk membentuk kader taat dan patuh tetapi menjadi teman belajar yang membantu kader menemukan arah dan keberanian. Pun segala bentuk proses belajar bukan agar kader menjadi kutu buku, tetapi agar kader memiliki kerangka berpikir yang mampu menjawab realitas kompleks yang dihadapinya.
Kita punya pengalaman. Dalilnya, nabi sendiri tidak pernah memaksakan kepatuhan dan ketaatan kepada sahabatnya. Lebih-lebih mendoktrin ekstrim agar ia dipuja dan dikultuskan. Nabi sangat mencegah dirinya dituhankan. Melainkan nabi lebih mengutamakan mengenalkan nilai; mana nilai yang seharusnya sahabat taati, sahabat patuhi, sahabat lawan, sahabat gugat dan semacamnya. Nabi paham betul, kedewasaan berpikir, kesehatan jiwa, baiknya spiritual, kuatnya mental, samanya tujuan dan nilai perjuangan akan membuat kita hidup berdampingan. Membuat kita menyadari bagaimana buruknya meninggalkan sesama dan bagaimana seharusnya kita menghargai dan menghormati.
Akan tetapi, tak hendak pula kita mencontohnya. Menjadikan sahabat berpegang pada nilai yang sama meski operasionalisasinya berbeda-beda. Anggaplah nilai itu kejujuran, maka tentu sebagai petani dan pejabat kita tetap berpegang pada nilai yang sama itu.
Olehnya itu, dalam literasi Islam, nabi pernah meminta pendapat sahabat, bahkan nabi sendiri pernah digugat oleh sahabat. Mau itu sahabat yang terlebih dahulu masuk islam bahkan belakangan. Dan perlu digaris bawahi juga, perdebatan nabi dan sahabatnya bukan untuk mencari menang dan kalah, bukan untuk mempertegas siapa poisisi superior dan siapa yang marginal, bukan untuk mempertegas siapa di atas dan di bawah. Melainkan diskusi konstruktif, mempertegas identitas sikap kritis, mengoreksi dan melengkapi pandangan, menguatkan nilai yang harus diperjuangkan, juga mempertegas sifat kemanusiaan nabi. Apa lagi kita yang nyata hanya manusia.
Olehnya itu, perintah tidak boleh jatuh diawal, melainkan nilailah yang terlebih dahulu dibangun, kemudian perintah hadir belakangan karena nilai yang menyatukan. Metode seperti ini akan membentuk kelompok kuat. Sebagaimana perang Nabi, 300 orang melawan ribuan tentara musuhnya itu. Nabi memang menyerukan perintah berperang, namun jauh sebelum perintah itu dikeluarkan, para sahabat paham betul nilai apa yang mereka perjuangkan; bukan hanya sekadar berperang dan mengikuti intruksi nabi. Sebaliknya, kehilangan nilai dalam perang itulah yang membuat nabi dan pasukannya kalah akbar. Baca saja perang badar dan uhud.
Ketakutan-ketakutan kita ditinggalkan sahabat, digugat dan dibantah, dikritik dan diulek, perasaan semacam ini membuat kita menuhankan diri. Cenderunglah kita menampilkan semacam kesangaran lewat titah gertakan. Mulailah kita merasa tinggi karena aku terlebih dahulu masuk PMII. Kembali kita menghimpit bawahan ke sudut sekret. Wajah kita lembut, tapi doktrin yang berjalan terkesan gahar. Serasa paradoks, banyak kader merasa tak bisa hidup tanpa siapa yang lebih dahulu berpmii. Kejenuhan mereka terhadap situasi itu, sebaliknya membuat mereka keluar lingkaran. Mencari-cari jalan kecil, di mana ia bisa belajar, berkembang dan hidup.
Padahal, jika nilai masih ada seharusnya hal ini tidak terjadi. Pun kita tak perlu takut ditinggalkan siapa-siapa. Siapa yang akan meninggalkan siapa ketika nilai perjuangan masih terang?
Keterpecahan terjadi ujub-ujub karena nilai itu pergi entah ke mana. Belum lagi cara kita mempertahankan bukan dengan mengenalkan nilai tetapi menyanyikan lagu kecaman “pantang meninggalkan pmii dalam situasi dan kondisi apapun”, semacam memaksa. Sepaham umar, kita boleh melakukan sebebasnya asal pantangannya tidak dilakukan. Maka silahkan tinggalkan saja organisasi ini, karena kita sendiri telah membuang pantang yang paling pantang yakni nilai pergerakan.
Dari pikiran semacam ini, seminimal mungkin kita bisa menjumpai tiga kecerahan personal yang didapatkan oleh umar, yang memungkinkan lahir produk kecerahan sosial. Kecerahan spiritual, kecerahan intelektual dan kecerahan mental yang menghasilkan kecerahan moral. Kecerahan moral pada akhirnya termanifestasikan secara sosial. Kalaulah sasaran kita ingin membentuk berlakunya moralitas sosial, tiga dimensi kecerahan itu tak bisa berdiri sendiri. Ketiga dimensi kecerahan itu ibarat satu rangkaian sistem dalam fungsi kemanusiaan yang memungkinkan manusia mencapai keutuhannya. ketiganya mesti berdialektika, saling mendukung kedayagunaan masing-masing dan saling menghidupkan. Namun sepertinya, kita sangat steril dari dimensi itu.
“Bukan begitu nyil?”, tanya umar, untuk mendapat respon dari unyil yang sedari tadi hanya diam.
Demikian memang, kita tengah mencari rumus-rumus pergerakan. Dan tidak ada sistem yang berorientasi seimbang sesuai kondisi jasmani-rohani manusia selain tiga kecerahan tadi. Dan benar, anggota dan kader sangat steril dari hal itu.
“Hati-hati jangan keras sekali,” sahut gembul.
Kalian ini selalu merasa lebih aman untuk berpegang pada kebenaran sudut dan posisi. Namun, besok pagi kalian bisa saja mengganti kebenaran sudut dan posisi yang lain bergantung ke mana angin bertiup bukan?
Itu benar Mbul, tetapi selama aku bertapa di gunung-membaca teks dan konteks- nun jauh di lubuk rahim sejarah yang amat terjaga rahasianya, baik oleh kearifan maupun kerakusan kekuasaan, hati nurani manusia diam-diam mengerti tentang “kebenaran sejati”, kebenaran yang tidak relatif dan tidak bergantung arah angin.
Santai saja Mbul. Kalaupun salah, kesalahan ini hanya skandal pemikiran, belum ke tahap makar pergerakan. Kalau pemikiran sangat ditakuti, kenapa banyak dari kita berhenti mengembangkan PMII?
Bersambung …..